Apakareba: Beberapa waktu yang lalu, Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai daerah dengan produksi beras terbesar keempat di Indonesia. Beras seperti yang kalian tahu merupakan hasil pengolahan dari padi. Pengolahan diawali dari proses pemanenan padi.
Bukan Indonesia namanya kalau tidak kaya akan tradisinya. Berkaitan dengan pemanenan padi, masyarakat Sulawesi Selatan, tepatnya masyarakat Toraja, memiliki tradisi unik tersendiri, yakni Sisemba. Apasih Sisemba itu? Yuk kita bahas bareng-bareng!
Sisemba dalam bahasa Toraja memiliki arti saling menendang kaki. Tradisi ini diadakan sebagai pesta perayaan panen raya. Panen raya adalah pemetikan hasil pangan oleh petani yang dilakukan secara besar-besaran. Maka dari itu tradisi ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa syukur orang Toraja atas berkah yang telah diberikan berupa hasil panen yang berlimpah
Sisemba ini juga dipercaya oleh masyarakat Toraja dapat mengantisipasi gagal panen dan meningkatkan hasil pertanian pada tahun berikutnya. Lokasi yang digunakan untuk melakukan tradisi ini biasanya di lahan persawahan yang baru selesai dipanen atau di lapangan terbuka yang dinilai cukup luas dan berlumpur.
Tradisi ini seringkali dianggap anarkis, karena sesuai dengan namanya, para pria akan saling beradu kekuatan dengan menendangkan kaki mereka satu sama lain. Risiko untuk mengalami cedera tentunya cukup tinggi tetapi jarang sekali ditemukan sampai menimbulkan cedera besar atau memakan korban.
Sisemba biasanya dimainkan oleh dua kelompok petarung, yakni warga kampung yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan pesta panen raya dan warga kampung tetangga. Permainan adu kaki ini diawali oleh pertarungan antar kelompok yang terdiri dari anak berusia 10 sampai 15 tahun. Petarung remaja dan orang dewasa akan mengambil alih arena permainan setelah kelompok anak-anak menyudahi permainan adu kaki.
Permainan ini wajib dilakukan berpasangan dengan cara saling bergandengan tangan, mengingat bagian tubuh yang boleh digunakan hanya kaki. Posisi ini diterapkan baik dalam posisi menyerang maupun bertahan. Penggunaan tangan dilarang untuk menyerang lawan, seperti memukul dan menampar.
Sekarang kita akan membahas keunikan dari tradisi ini. Konon, mantra-mantra atau yang disebut Panimbolo’ kerap digunakan oleh para petarung berupa benda atau baca-bacaan tertentu. Tentunya hal ini dianggap tidak sportif, sehingga tidak semua petarung akan menerapkan hal ini dan lebih mengandalkan kekuatan mereka.
Dibalik citranya yang terkesan anarkis, permainan ini memiliki sisi positifnya, yaitu menguatkan tali persaudaraan dan silaturahmi antar warga kampung. Sebab, masyarakat Toraja sangat antusias dengan tradisi ini. Biasanya ratusan warga akan menghadiri kegiatan ini.
Menarik sekali ya salah satu tradisi dari Toraja ini! Bagaimana menurut kalian?
(SYI)