Apakareba: Pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Makassar, Sulawesi Selatan, disebut belajar merakit bom secara daring. Dari media sosial, mereka belajar dan mengembangkan tata cara pembuatan bahan peledak.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amat menjelaskan kedua pelaku, L dan YSF, terpapar paham radikalisme. Apalagi biasanya paham terssebut memang menyasar ke generasi muda.
“Dari hasil penyelidikan, diketahui pelaku terpapar paham radikalisme hingga berujung aksi terorisme,” kata Boy dalam keterangan tertulis, Selasa, 30 Maret 2021, seperti dilansir dari Medcom.id.
Boy pun menyayangkan kejadian tersebut. Ia sangat prihatin paham radikal terorise menyasar ke anak-anak muda.
Dengan berkembangnya teknologi, media sosial akhirnya juga menjadi media penyebaran paham radikalisme. Alhasil, anak muda sebagai pengguna aktif sosial pun akhirnya terpapar paham ini.
“Ini menjadi ciri khas dari propaganda jaringan terorisme,” ujar jenderal bintang tiga itu.
Ia mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama memerangi terorisme dan radikalisme. Peran aktif masyarakat tentunya akan membantu aparat keamanan dalam mendeteksi potensi terjadinya terorisme.
Sebuah ledakan terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu, 28 Maret 2021. Aksi bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri dengan menggunakan sepeda motor.
Akibat insiden itu, sebanyak 20 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Belasan korban tersebut kini tengah dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, RS Pelamonia, dan RS Akademis.
Diduga, kedua pelaku bom bunuh diri itu termasuk ke dalam jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang juga terlibat dalam serangan Gereja di Jolo Filipina pada 2018 lalu. (Theofilus Ifan Sucipto).
(SYI)