Apakareba: Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan tingginya harga kedelai. Apalagi diketahui kebutuhan kedelai di Indonesia dipasok oleh kedelai impor, bukannya kedelai lokal.
Kondisi ini membuat para perajin tahu dan tempe mogok produksi. Harga bahan baku yang mengalami lonjakan dari kisaran Rp6 ribu per kilogram menjadi sekitar Rp9,5 ribu per kilogram, tentunya akan meningkatkan biaya produksi.
Ironisnya, tempe dan tahu yang disebut sebagai makanan rakyat karena harganya yang murah meriah, ternyata mengandung sedikit konten lokal. Bagaimana tidak? Jika dilihat pada tahun-tahun sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor kedelai di Indonesia mencapai 2,67 juta ton pada 2017, 2,58 juta ton pada 2018, dan 2,67 ton pada 2019. Sedangkan rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Pasalnya, pada 1992, Indonesia pernah swasembada kedelai. Saat itu, petani kedelai Indonesia dapat memproduksi kedelai mencapai 1,8 juta ton per tahun. Lantas, kenapa kejayaan kedelai di masa Orde Baru itu tidak bisa terulang hingga saat ini?
Pada periode pertama Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden, ia pernah menjanjikan Indonesia bisa swasembada kedelai dalam waktu tiga tahun. “Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun, tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya,” kata Presiden Jokowi saat memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2014.
Seperti peribahasa ‘bagai panggang jauh dari api’, produksi kedelai lokal masih jauh dari kebutuhan rata-rata kedelai nasional. Selama ini, Indonesia paling banyak mengimpor kedelai dari Amerika Serikat.
Beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo membeberkan kenapa swasembada kedelai sulit untuk diwujudkan di Indonesia. Salah satunya adalah karena petani lokal lebih memilih untuk menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar. Selain itu, kedelai juga masih dikenal sebagai tanaman penyelang saja bagi tanaman utama seperti padi, jagung, tebu, tembakau, dan bawang merah.
Padahal kualitas dari kedelai lokal tidak jauh berbeda dengan kedelai impor. Bahkan, banyak yang bilang bahwa tempe yang terbuat dari kedelai lokal memiliki cita rasa yang lebih gurih dan segar.
Perbedaan cita rasa yang dihasilkan karena cara penanamannya berbeda. Di Indonesia, kedelai ditanam dengan cara non genetically modified organism (Non-GMO) atau tumbuh secara natural. Sedangkan, kedelai impor dari Brasil, Argentina, hingga Amerika Serikat rata-rata ditanam dengan GMO atau dengan rekayasa genetika.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan mengapa produksi kedelai di Indonesia lebih kecil. Ibaratnya, produksi kedelai Non-GMO hanya sekitar 2 ton per hektare, sementara produksi kedelai GMO bisa mencapai 4 ton per hektare-nya.
Terlepas dari itu semua, tentunya hal ini sangat disayangkan, mengingat permintaan akan tahu dan tempe Indonesia juga semakin meningkat. Pemerintah melalui Menteri Pertanian harus memiliki jurus jitu untuk meningkatkan minat petani lokal untuk membudidayakan kedelai. Sebab, janji Jokowi pada 2014, pasti akan selalu ditagih oleh masyarakat Indonesia sampai swasembada kedelai bisa terealisasikan..
(SYI)