Apakareba: Siapa yang tak kenal dengan lagu anak "Nenek Moyangku Orang Pelaut"? Hampir seluruh anak di Indonesia pasti tumbuh dengan lagu ini. Lagu ciptaan Saridjah Niung atau lebih dikenal sebagai Ibu Soed itu memiliki pesan moral bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terbiasa mengarungi samudra yang luas.
Tak hanya itu, Indonesia juga kental akan tradisi kelautannya. Salah satu warisan kelautan yang menjadi simbol ketangguhan pelaut Tanah Air, yakni kapal pinisi. Dipercaya, kapal tersebut sudah ada sejak sebelum era 1500-an. Sampai saat ini, kapal asal Bugis itu masih sangat populer.
Lantas, bagaimana sih asal mula kapal pinisi dapat dibangun? Kemudian, apa makna dari kata pinisi? Dilansir dari berbagai sumber, berikut rangkuman yang perlu kamu ketahui soal kapal pinisi.
Arti kata ‘pinisi’
Tradisi setempat menyebutkan pinisi berasal dari nama sebuah kapal milik Raja Tallo, I Manyingrang Dg Makkilo. Terdapat dua kata yang mewakili penamaan tersebut, yakni picuru yang berarti 'contoh baik' dan binisi yang merupakan sejenis ikan kecil yang dikenal lincah dan tangguh.
Sumber lain mengatakan pinisi berasal dari bahasa Bugis, yakni panisi atau mappanisi yang memiliki arti 'menyisipkan'. Sebutan itu mengacu pada proses pendempulan ‘lopi dipanisi’ yang berubah menjadi pinisi.
Kapal pinisi berawal dari perjalanan putra mahkota Kerajaan Luwu
Berdasarkan catatan sejarah Sera Babad La Lagaligo, kapal pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, seorang putra mahkota Kerajaan Luwu. Ia membuat kapal itu untuk berlayar menuju Tiongkok.
Seperti orang pada umunya, tujuan pelayaran itu adalah untuk merantau. Dalam kesempatan itu, Sawerigading juga meminang putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Saat ia memutuskan untuk kembali ke Luwu, ia dihadapkan dengan badai di tengah perjalanan. Kapal itu pun pecah menjadi tiga dan terdampar di tiga wilayah. Ketiga wilayah itu, yakni Ara, Tanah Lemo, dan Bira.
Tiga wilayah inilah yang dipercaya sebagai asal mula kelahiran kapal pinisi. Konon, pecahan kapal milik Sawerigading dirakit kembali menjadi sebuah kapal baru yang disebut sebagai kapal pinisi.
Banyak ritual yang perlu dipenuhi dalam proses pembuatannya
Berbeda dengan kapal modern, kapal pinisi memiliki nilai tradisi yang kuat. Bagi masyarakat Ara, Tanah Lemo, dan Bira, kapal pinisi dipandang sebagai tradisi yang harus dibangun dengan mengikuti banyak aturan. Contohnya, ritual sebelum pembangunan hingga perhitungan hari terbaik kapan sebaiknya kapal itu dibuat.
Pada tahap pertama ritual, pohon-pohon yang akan ditebang sebagai bahan pembuatan kapal harus diusir terlebih dahulu roh-roh jahatnya. Kayu-kayu yang dipakai umumnya didatangkan dari daerah lain, seperti Sulawesi pedalaman atau Kalimantan.
Kayunya juga harus yang berkualitas tinggi, seperti kayu besa tau dikenal sebagai kayu ulin. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pembuatan kapal pinisi sangat mahal.
Kemudian, dilanjutkan dengan tahap peletakan lunas. Lunas merupakan balok memanjang di dasar kapal yang berfungsi sebagai pondasi berdirinya konstruksi kapal.
Lunas akan dihadapkan ke arah timur laut. Bagian depan lunas dianggap sebagai lambang laki-laki dan bagian belakangnya dianggap sebagai lambang perempuan.
Nantinya, bagian depan lunas akan dipotong dan dilarung ke laut untuk tujuan menolak bala. Tak hanya itu, ritual itu juga melambangkan kesiapan laki-laki dalam mencari nafkah di lautan. Sementara, lunas bagian belakang akan dipotong dan disimpan di rumah.
Pembuatan kapal pinisi memakan waktu yang sangat lama
Pembuatan kapal pinisi sebagian besar dilakukan secara manual. Akibatnya, penyelesaian kapal tersebut memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan bergantung pada ukuran dan model.
Digunakan untuk berdagang dan berlibur
Kapal pinisi biasanya digunakan untuk melaut, berdagang, dan mencari ikan. Tetapi, di era modern ini, kapal pinisi lebih sering digunakan sebagai kapal pesiar mewah untuk berlibur.
Para pemilik kapal pinisi sering kali juga membuat kapal milknya lebih digunakan sebagai kapal kebanggaan. Hal ini dikarenakan bentuknya yang eksotis.
(SYI)